Kamis, 02 Agustus 2012

MONCONGLOE PERBATASAN

Moncongloe, Desa Kering di Pintu Belakang Tamalanrea
:: Erni Aladjai ::
Citizen reporter Erni Aladjai menuliskan profil singkat sebuah desa yang terletak di “belakang” perumahan Bumi Tamalanrea Permai (BTP). Desa yang dulu menjadi tempat sembunyi pencuri ternak dan buronan ini, masih melestarikan tradisi seperti pesta panen, meski saat tanah desa tak bisa digarap, hampir seluruh penduduk dewasanya menjadi buruh di pabrik-pabrik di Kawasan Industri Makassar. (p!)

Meski masuk wilayah administrasi Kabupaten Maros, Kecamatan Moncongloe justru lebih dekat dengan Kota Makassar. Kecamatan Moncongloe terdiri dari lima desa yakni; Moncongloe Bulu, Bonto Marannu, Bonto Bunga, Moncongloe dan Moncongloe Lappara. Untuk mencapai Desa Moncongloe, dari Makassar tak perlu melewati Kota Maros, melainkan melewati Tamalanrea, Bumi Tamalanrea Permai (BTP) dan terus ke Moncongloe. Desa ini berada tepat di belakang BTP. Bisa juga melalui jalur Panakkukang-Todopoli-Antang dan terus ke Moncongloe. Tak heran jika warga Moncongloe lebih memilih berbelanja kebutuhan sehari-hari di Pasar Daya, atau ke Mal di kota Makassar – ketimbang Pasar Sentral Maros.

Memasuki Desa Moncongloe di waktu malam sangatlah menyeramkan, bagaimana tidak, di kiri-kanan jalan ditumbuhi semak belukar setinggi orang dewasa, ditambah lagi tak ada lampu penerangan di sekitar jalan. Pada pukul 8 - 9 malam, jalanan Moncongloe sudah mulai lengang. Satu-dua saja kendaraan yang melewati jalanan.

Penduduk Moncongloe rata-rata bersuku Bugis, tapi lantaran lokasinya dekat dengan Makassar, maka bahasa sehari-hari mereka adalah bahasa Makassar. Meski demikian, tentu mereka juga fasih berbahasa Bugis.

Di musim kemarau, penduduk perempuan di desa ini, menjadi pekerja buruh di Kawasan Industri Makassar (KIMA)Daya. Biasanya mereka menjadi pengupas udang, membersihkan ikan, atau menggoreng kerupuk ikan dan udang. Dalam sehari, mereka mengantongi Rp15.000 sebagai upah. Masiah (38) salah satunya. Perempuan ini bekerja sebagai pengupas udang di Kawasan Industri Daya. Ia mengaku, dalam sehari ia mengantongi uang sebanyak itu. Belakangan karena tak kuat berdiri lama-lama sewaktu mengupas udang, ia pun berhenti lantaran kakinya sering kram.

***

Beberapa waktu lalu, saya berkunjung ke rumah Kepala Desa Moncongloe, Abdul Hamid. Ia bertutur kalau Desa Moncongloe awalnya adalah desa terasing, Dulu di desa ini seringkali menjadi tempat persembunyian para pencuri ternak dan pencopet. Terkadang tahanan yang lari dari penjara pun bersembunyi di desa ini. Menurut Abdul Hamid, hal itu disebabkan kondisi desa yang masih tertutup dan banyak dihalangi pohon-pohon besar dan semak belukar. Rumah penduduk pun jarang-jarang. Jarak antar-rumah sekitar 50 meter.

Dari Tamalanrea desa ini bisa dicapai ditempuh sekitar 15-20 menit Meski terbilang dekat, jalanan menuju desa belumlah semulus jalanan aspal.. Disana-sini batu-batu besar bercuatan di atas jalanan, jika musim hujan jalanan digenangi adonan lumpur yang sangat tebal. Menurut Nabira (40 tahun), jalanan desa Moncongloe yang buruk dikarenakan jalanan itu sering dilewati truk besar yang mengangkut tanah dan batu serta material lainnya. Sebaliknya di musim kemarau jalanan di penuhi debu.

"Dulu, jalanan tak serusak ini, namun semenjak truk milik PT Edy Putra dan PT Putra Jaya beroperasi di jalan itu, maka jalan yang baru sebagian diaspal itu pun bertambah parah, apalagi kalau musim hujan" tutur adi, salah seorang tukang ojek di desa Moncongloe. Menurut warga, lumpur jalan di kampung mereka muncul akibat aktivitas truk-truk pengangkut tambang golongan C milik PT Edy Putra dan PT Putra Jaya.

Bulan Juni tahun lalu warga Moncongloe, tepatnya Moncongloe Bulu memblokir jalanan. Jalan selebar lima meter itu mereka blokir menggunakan batang pohon, batu-batu besar, dan sebuah bangunan poskamling. Jalan poros yang menghubungkan Moncongloe dan Markas Yon Zipur diblokir hingga mencapai lima kilometer. Pemblokiran jalan tersebut lantaran warga semakin jengkel dengan truk-truk besar yang merusak jalan desa.

Sayangnya, pihak yang seharusnya bertanggung jawab hingga sekarang masih belum memberi respon.

Memasuki musim penghujan, desa ini sudah pasti menjadi langganan banjir, biasanya airnya setinggi satu meter. Alhasil, warga dari Moncongloe Bulu, atau desa lain untuk menuju Moncongloe pun berperahu. Ternak dan kendaraan bermotor diangkut dalam perahu. Mirip bedol desa. Desa Moncongloe adalah desa paling parah jika musim penghujan tiba, banjir bandang kiriman dari Maros pun mengalir jauh hingga ke Perumahan Bumi Tamalanrea Permai (BTP).

Lain halnya jika musim kemarau, bekas lahan-lahan persawahan di Moncongloe terlihat tandus. Yang terlihat hanya rumput liar yang mengering dan ternak sapi dan kambing yang berkeliaran merumput di lahan kering itu. Di musim ini, tak ada satu pun warga yang mencoba menggarap lahan.

Pesta Panen Moncongloe
Warga di desa ini rata-rata bekerja sebagai petani. Mereka menamam padi dan singkong. Areal persawahan di Moncongloe sebetulnya merupakan tanah kering. Warganya hanya mengandalkan musim penghujan yang datang setahun sekali. Dengan demikian, panen pun hanya dilakukan sekali setahun. Penduduk Moncongloe umumnya memanen padi sekitar bulan Juli. Meski lahan di desa ini tandus dan kering, tanah di desa ini sangat cocok untuk pohon mangga, tak heran jika hampir semua warga di Kecamatan Moncongloe (yang terdiri dari lima desa) memiliki pohon mangga di depan, belakang atau samping rumah. Mangga- mangga itu mereka jual di Pasar Daya, ada juga pemborong yang datang dari Makassar membeli mangga di desa ini.

Panen padi, adalah masa yang menggembirakan bagi warga Moncongloe. Seluruh warga dari lima desa bergotong-royong menyumbang dana, dan hasil panen berupa beras ketan. Desa yang sunyi ini pun ramai dengan berbagai perayaan adat. Inilah yang mereka namakan Pesta Panen. Biasanya pesta panen bertepatan dengan Hari Ulang Tahun RI, sehingga dirangkaikan dengan perayaan Agustusan. Perayaan yang ditampilkan berupa atraksi adu betis , acara tumbuk padi muda (akdengka ase lolo) dan sepak takraw (pa'raga).

Upacara menumbuk padi dilakukan oleh para gadis dan pria muda. Yang gadis mengenakan baju bodo aneka warna. Sedangkan yang prianya mengenakan jas warna-warni, songkok dan sarung. Menumbuk lesung menghasilkan irama tersendiri yang merdu. Sambil menyaksikan upacara tumbuk padi dengan alunan pukulan lesung, warga beramai-ramai menikmati hidangan padi muda yang diberi gula aren dan santan

Desa ini masih memelihara sejumlah tradisi yang umumnya kita temui di pelosok kabupaten, di tengah kondisinya yang babak belur setiap kali dihantam kemarau, banjir kiriman, dan gilasan truk-truk pengusaha galian, yang menyisakan debu dan lubang di jalanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar